Setahun IHSG Sideway, Rupiah Melemah, Suku Bunga Naik
Sudah setahun terakhir IHSG bergerak mendatar alias sideway (per 25 Oktober 2023). Kondisi ini memang tak menyenangkan bagi investor/trader saham. Portofolio mereka lambat tumbuh. (*) |
IHSG Sepertinya Masih Sulit Naik
Kondisi pasar modal di Indonesia saat ini memang kurang menggairahkan. Sudah berlangsung setahun terakhir. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak kemana-mana. Mendatar alias sideways!Kondisi ini sangat tidak enak. Bila bisa memilih, trader lebih memilih IHSG turun dalam. Sehingga trader/investor tahu langkah yang harus diambil.
Yaitu menghindari pasar atau akumulasi saham. Atau saat IHSG naik, maka investor/trader tak sulit memperoleh profit.
Tapi saat IHSG sideways, para investor/trader agak sulit menentukan kapan beli/jual. Lebih sering kecele.
Saat ada sinyal beli, waktunya memborong. Ternyata harga saham tidak bergerak seperti yang diprediksi.
Padahal saham tersebut sudah masuk portofolio.
BACA JUGA: Petinggi Perusahaan Jual Saham GOTO, Harga Saham Marketplace Masih Suram
Kalaupun mau ambil profit, profitnya tak banyak. Begitu juga mau cutloss. Bila cutloss, harga sering kali naik.
Hingga Oktober 2023, IHSG hanya berkutat di area 6.530-7.116. Kondisi ini sudah berlangsung sejak September 2022 lalu.
Dalam sejarahnya sangat jarang IHSG sideway sepanjang tahun. Selain Oktober 2022 hingga Oktober 2023, masa sideway IHSG yang agak lumayan panjang adalah pertengahan 2018.
Kemudian, pada 2019, IHSG cenderung turun landai. Ketika 2020, saat Covid 19 masuk Indonesia, IHSG ambruk selama 3 bulan pertama.
Di awal 2022, IHSG kembali naik tajam sepanjang sisa 2022.
Dua Sisi Mata Uang Pelemahan Rupiah
Sepertinya pergerakan IHSG semakin sedikit karena ada beberapa hal yang membebani IHSG. Yaitu, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang terus melemah serta kenaikan suku bunga.
Ambruknya rupiah karena kekhawatiran bank sentral AS akan meningkatkan suku bunga acuan tahun ini.
Kekhawatiran ini menjadi tantangan pasar modal Indonesia.
Pada 25 Oktober 2023, nilai tukar US $1 adalah Rp15.561. Pelemahan rupiah ini menekan sejumlah emiten yang mengandalkan bahan baku dari impor.
Apalagi industri farmasi mengandalkan bahan baku impor. Pembelian bahan baku dari luar negeri ini menggunakan dolar AS.
Pelemahan nilai rupiah ini akan menggerus laba perusahaan karena perusahaan harus mengeluarkan modal lebih besar. Tapi cuan mengecil.
BACA JUGA: Permintaan Rokok Ilegal Naik, Cuan Perusahaan Rokok Tetap Tinggi
Inilah beberapa emiten yang terkena imbas dari lemahnya rupiah.
Pertama emiten dari sektor farmasi. Industri ini sangat bergantung pada impor. Sehingga sektor farmasi sangat sensitif dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Di saat dolar AS menguat terhadap rupiah, sebaiknya hindari dulu saham-saham dari sektor ini. Alasannya harga saham farmasi cenderung turun.
Sektor kedua yang sensitif terhadap nilai tukar ini adalah sektor konsumer. Sama halnya dengan sektor farmasi, sektor konsumer juga dibebani dengan impor.
Namun, sektor ini mendapat angin segar karena menjelang Pilpres. Biasanya, tahun politik menjadi momen bagus untuk meraup cuan di sektor konsumer.
Sektor selanjutnya adalah sektor bahan baku besi dan baja.
Yang terkahir adalah perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. Dengan menguatnya dolar AS, maka nilai utang dan bunga utang juga turut akan meningkat. Hal ini buruk bagi omset perusahaan.
Budi Frensidy yang merupakan pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini belum mempengaruhi keuangan emiten.
“Tapi rupiah yang melemah menahan IHSG yang akan menembus level 7000 an,” katanya di Bisnis.com.
Ternyata tidak semua emiten merugi dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini. Bahkan ada yang cuan dengan situasi ini.
BACA JUGA: BEI Berlakukan ARB Simetris. Ini Kiat Menghadapinya
Ciri emiten yang diuntungkan saat rupiah melemah adalah perusahaan yang produknya diekspor.
Contohnya adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM).
Kedua perusahaan ini memiliki pemasukan yang cukup dominan dari ekspor. Sehingga pendapatan semakin maksimal.
Emiten lainnya dari sektor energi dari migas dan batubara. Alasannya sama yaitu penjualan migas dan batubara menggunakan dolar AS.
Apalagi, harga komoditas ini masih terus naik akibat kebutuhan energi yang semakin tinggi.
Perusahaan yang ada di sektor ini adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Barito Renewable Energy Tbk (BREN), serta PT Medco Energy International Tbk (MEDC).
BI Naikkan Suku Bunga
BI resmi menaikkan suku bunga. Tujuannya agar ekonomi tetap normal. Meskipun merugikan sektor keuangan dan perbankan, namun kebijakan ini harus tetap diambil agar ekonomi negara tak terganggu. (*) |
Kebijakan ini berpotensi memberi dampak buruk pada pertumbuhan kredit perbankan. Meski demikian, BI optimistis pertumbuhan kredit tahun ini sekitar 9%-11%.
Ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI memberikan dua sisi mata uang. Ada sisi positif dan sisi negatif.
Keuntungan suku bunga acuan naik adalah membuat mata uang rupiah perkasa.
“Kenaikan suku bunga membuat modal asing masuk ke Indonesia karena investor tertarik dengan imbal hasil surat utang Indonesia yang menjadi menarik,” katanya di Kompas.com.
Investor akan ramai-ramai masuk Indonesia. Sehingga aliran modal asing tidak keluar Indonesia.
Yang kedua adalah dapat mengendalikan inflasi agar tidak semakin tinggi. Tapi hasilnya baru terlihat dalam jangka waktu panjang.
BACA JUGA: Peretasan Tak Pengaruhi Harga Saham BRIS dan BBCA
“Poin kenaikan suku bunga adalah mencegah modal keluar negeri dan mengkompensasi penurunan devisa ekspor komoditas," beber Bima.
Terakhir adalah kenaikan suku bunga juga memicu suku bunga deposito naik. Hal ini bisa menarik minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di deposito.
Kenaikkan Suku Bunga Ancam Pertumbuhan Ekonomi
Ketika suku bunga naik, sebaiknya hindari saham di sektor keuangan. Khususnya perbankan.
Alasannya kenaikan suku bunga bank menambah beban bank karena harus membayar hasil deposito yang lebih tinggi kepada nasabah.
Agar dampak kenaikan suku bunga deposito ini tak begitu terasa, maka bank akan menaikkan suku bunga kredit. Suku bunga kredit yang naik membuat masyarakat enggan mengambil pinjaman di perbankan.
Sehingga masyarakat akan berpikir ulang saat akan kredit rumah, kredit kendaraan, dan kredit pembiayaan lainnya.
Bahkan, pelaku usaha yang umumnya mendapat modal usaha dari pinjaman bank juga akan terbebani karena besaran cicilan akan meningkat. (*)
Komentar
Posting Komentar